Pages

Selasa, 18 Desember 2012

SEKTE-SEKTE DALAM AGAMA HINDU


Makalah ini dibuat oleh :  Annisa Fachraddiena (1111032100036)


I.                   Pendahuluan
            Tuhan Yang Maha Esa adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang ada yang pernah ada dan yang akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) maupun yang sersifat tidak nyata (niskala). Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan, sebagai wujud nyata akan kemaha beradaan Tuhan. Alam semesta jagad raya ini sangat luas bahkan tiada ujung akhir dan pangkalnya, namun ada di dalam Tuhan. Sejauh-jauh kita memandang, sejauh apapun kita menghayalkan tentang luasnya alam semesta ini, masih tetap tak terbayangkan. Di langit kita melihat bintang dengan ggugusannya, di atas bintang masih ada langit dengan gugusan bintang-bintangnya. Miliaran bintang baik yang terlihat maupun yang tidak dapat dilihat, galaksi yang nampak sebagai gugusan bintang-bintang,  dan planet-planet yang mengorbit pada masing-masing bintang atau tata surya itu tidak terlihat karena jaraknya yang sangat jauh. Alam semesta yang penuh rahasia dengan luas yang tiada batasnya ini mengandung rahasia Ilahi yang tak terjangkau oleh alam pikir manusia, walau dibantu dengan teknologi secanggih apapun. Demikian maha agung dan maha luasnya alam semesta jagad raya ini sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha Agung yang menciptakan segala yang ada di alam semesta ini.
Setelah memahami kemaha agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana metode mendekatkan diri kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul dirasakan dan rasa sujud bakti selalu menggema dalam diri. Banyak jalan yang ditempuh oleh umat manusia untuk melakukan pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak agama dengan sekte-sektenya dan aliran kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk umat manusia mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan. Secara bersama-sama dalm kelompoknya sebagai kelompok masyarakat, agama, sekte maupun aliran kepercayaan melakukan kegiatan ritual keagamaan dalam berbagai jenis acara dan upacara. Seperti dalan agama Hundu muncul beberapa Sekte yang dikenal dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte Siwa, Sekte Sakti  

II.                Latar Belakang Munculnya Sekte-Sekte dalam Hindu[1]
Agama Hindu adalah salah satu agama besar dan tertua di dunia. Ajarannya mengalir dari Veda dalam berbagai-bagai bentuk pelaksanaan hidup beragama. Peradaban Hindu bukanlah sesuatu yang berumur pendek. Sejarahnya bermula ribuan tahun yang lalu, lima ribu bahkan sepuluh ribu tahun yang lalu. Kenyataannya bahwa agama atau kepercayaan yang ajarannya bersumberkan pada ajaran Veda bertahan hingga saat ini walaupun telah terjadi pergolakan sosial politik dan serangan gencar terhadapnya dari masa ke masa. Beranjak dari serangan gencar dan reaksi agama terhadapnya mungkin memberinya beberapa sinar pada kekuatan batinnya. Berikut adalah beberapa serangan keagamaan yang lebih penting terjadi di India, yaitu :
a.    Pengaruh agama Buddha.
            Pengaruh sangat kuat yang pertama adalah dari agama Buddha; sebagai suatu sekte tanpa kompromi terhadap agama Veda yang lahir pada abad ke 6 Sebelum Masehi. Agama ini berhasil menguasai separuh daratan India, untuk menerima agama asli dalam pengertian etika terbatas; dengan meniadakan upacara-upacara dan hal-hal yang bersifat metafisika. Dan pada saat itu Sankara menginginkan samparadaya atau parampara yang didirikan terkemuka di dalam pemahaman teks (kitab suci). Hal tersebut adalah merupakan ancaman terhadap perkembangan agama Buddha saat itu, dan menjadi pelaku utama dalam reformasi terhadap ajaran agama Hindu. Sankara menuntut disiplin yang keras dan kemajuan aktivitas intelektual.  Ia mendirikan pusat pengembangan (matha) Advaita di empat penjuru India.
b.    Serangan dari agama Islam.
Pada masa-masa awal agama Islam, pelaut-pelaut Islam dari Arab oleh raja Hindu diijinkan bermukim di Malabar. Bangsa Arab menyerbu dan menaklukkan Sindu pada tahun 711 M. Tetapi mereka tidak dapat maju lebih jauh dan tak pernah muncul kembali sebagai penyerbu. Gelombang penyerbuan Islam lainnya terjadi lagi pada abad ke 11, dan akhirnya sebagian besar daratan India diperintah oleh raja-raja Islam selama 500 tahun atau lebih. Pada masa itu kekuasaan Islam telah menaklukkan dan mengislamkan hampir setiap orang dinegara-negara besar seperti Persia, Turki, Mesir, Afganistan dan sebgain Eropa. Pada akhir zaman keemasan Islam awal abad ke 18, sebelum penganut-penganut  baru yang berasal dari golongan tertindas seperti di Bengali Timur, termasuk orang-orang yang belum sepenuhnya masuk agama Buddha, Orang-orang suci agung bangkit dan membentuk sekte-sekte keagamaan avit,n,Vais dan Śivait yang bersifat demokratis dan menampilkan pemujaan missal melalui kepercayaan pengabdian (bhakti).
c.     Serangan dari agama Kristen.
                        Tidak lama setelah meninggalnya pendiri agama Kristen, para misionaris beroperasi di beberapa bagian Eropa dan dimana-mana agama baru itu menggantikan agama lama. Pemujaan Odin dan agama bangsa Druid demikian pula penyembahan berhala di Yunani dan bangsa Romawi menjadi punah setelah orang-orang beralih ke agama Kristen. Seorang Apostel (rasul), St. Thomas datang di India pada abad pertama dan menyebarkan agama Kristen di Kerala (Travancore-Cochin). Untuk kedua kalinya agama Kristen di bawa ke India  pada abad ke 16 oleh bangsa Portugis. Dan gelombang ketiga agama Kristen dibawa oleh misionaris pada masa penjajahan Inggris. Pada masa ini keadaan tidak berimbang. Pihak Kristen merupakan pemerintah penganut pengetahuan ilmiah baru dunia modern dan memiliki prestise serta kekuasaan; sedangkan di pihak Hinduisme tergolong bangsa yang masih bodoh, yang hampir tidak mempunyai pemimpin. Pada saat itu terjadi goncangan-goncangan dalam agama Hindu. Beberapa orang Hindu yang berpendidikan Barat meninggalkan agama mereka. Tetapi akibatnya timbul reaksi yang aneh dan kuat. Untuk mengendalikan pertumbuhan Islam dan Kristen ini maka muncullah banyak sekte-sekte modern dalam Hinduisme mulai dari Caitanya, Para Radhasvami, Brahma samaj, Arya Samaj dan lain-lain. Kemunculan sekte-sekte baru ini adalah merupakan wujud reformasi dari ajaran Hindu yang sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi saat itu.
Di samping apa yang telah dijelaskan di atas, tetapi kalau kita berbicara mengenai Hinduisme, maka pada permulaannya setiap orang akan dihadapkan kepada kesulitan untuk memberi batasan, Hinduisme itu sebenarnya apa. Pengertian “Hindu” semula aslinya adalah mengartikan suatu wilayah dan bukan suatu kepercayaan. Dia mengartikan suatu tempat pemukiman yang memiliki batas-batas geografis yang jelas. Masyarakat yang menghuni sisi India dari Sungai Sindhu disebut Hindu oleh orang Persia dan juga oleh penyerbu-penyerbu yang datang belakangan dari Barat (Radhakrishnan, 2002 : 15).
Dari Punjab kebudayaan Ārya ini mengalir sepanjang lembah Gangga, di mana mereka bertemu bangsa-bangsa primitive termasuk bangsa Dravida. Kebudayaan Hindu dinamakan demikian, sebab leluhur aslinya atau pengikut-pengikutnya yang paling terdahulu mendiami aliran Sungai Sindhu. Ketika kebudayaan ini menyebar keseluruh India, dia mengalami berbagai perubahan, tetapi tetap saja membawa kebudayaan Veda lama yang mereka kembangkan dahulu di lembah Sungai Sindhu (Ibid, 2002 : 15).
Di masa lampau dalam era yang berbeda-beda, orang akan menemukan suatu kepercayaan keagamaan yang bersamaan coraknya dengan agama yang ada dalam kitab-kitab Veda yaitu pengungkapan kepercayaan yang sangat tua pada peradaban bangsa Ārya; dimana menurut kepercayaan ini Tuhan dipuja sebagai Yang Esa dalam Yang Banyak dan Yang Banyak dalam Yang Esa. Istilah “henoteisme” yang diberikan oleh Max Muller, mencakup sebagian dari konsep ini. Perpaduan metode spiritual yang ditampilkan oleh henoteisme Veda ini bukan hanya memberikan rasa toleransi dan merasa akrab dengan Tuhan agama lain, tetapi juga menerima Tuhan agama lain sebagai Tuhannya sendiri dan sebagai keTuhanan Yang Esa.  Yang terakhir ini secara nalar agak membingungkan, namun telah menjadi bagian pengalaman mistik orang-orang suci dan para arif bijaksana sepanjang zaman. Henoteisme atau kepercayaan Advaita ini merupakan kekuatan yang hebat dalam kehidupan spiritual di India, walaupun dalam bentuknya yang konfrehensif ia merupakan gambaran yang khas dari Veda.
Dan dalam kenyataannya juga tidak bisa dibantah karena orang-orang yang berdiam di India terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda, menyembah dewata yang berbeda dan memiliki upacara-upacara yang berbeda.
Sumber tertua yang memberikan informasi tentang keberadaan sampradaya atau sekte adalah kitab Itihasa, yakni kitab Mahabharata (Anusasanaparva 141) yang menyatakan asal 4 sampradaya sebagai sampradaya tertua, yaitu : kuticaka, yaitu yang mempraktekkan kehidupan beragama dalam kehidupan berkeluarga, baudaka, yang tinggal dekat pemukiman dan hidup dari pemberian, hanya dari keluarga para Brahmana (pandita/dvijati), hamsa, terjemahan harfiahnya “angsa”, yakni para pertapa yang hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sangat mengurangi kehidupan duniawi, dan paramahamsa, mereka yang tidak memiliki rumah, meninggalkan segala sesuatu, termasuk mangkuk tempat menerima pemberian, tongkat, pakaian mereka, suatu kondisi melepaskan diri dari penderitaan dan kebahagiaan, keberuntungan dan bebas dari umur tua dan kematian (Klostermaier dalam Titib, 2003 : 46).
Kitab-kitab Purana juga menunjukkan pengelompokan yang bersifat sekterian, yang terdiri dari Brahmaistik, Visnuistik dan Sivaistik. Akan tetapi, dapat ditambahkan bahwa kitab-kitab Purana yang Visnuistik juga mengajarkan identitas Brahma, Visnu dan Siva (Winternitz dalam Titib, 2003 : 47). Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bagi kita bahwa kitab-kitab Purana memberi informasi kepada kita tentang eksistensi, yang memberi rona dan mewarnai kehidupan agama Hindu pada masa sesudahnya.
Kembali kepada Hinduisme, maka di dalam memahami ajaran Hindu, disamping kitab suci Veda (Sruti) yakni wahyu Tuhan sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hirarki sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu adalah Smrti (kitab-kitab Dharmasastra atau kitab-kitab hukum Hindu), Sila (yakni tauladan pada maharesi yang termuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Purana (sejarah kuno), Acara (tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang juga termuat dalam berbagai kitab Itihasa, dan Atmanastuti, yakni kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan yang matang dari para maharesi dan orang-orang bijak.
Veda memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Ia tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma ataupun bentuk-bentuk pemujaan tertentu.
Karena sifat ajaran Veda sangat universal, bebas, toleran dan luwes, maka dalam perkembangan kebudayaan Veda selanjutnya termasuk di luar India, sosiokultural lokal hampir selalu menjadi media pelaksanaannya. Di samping itu pula, dengan adanya kebebasan bertafsir, dan di mana tafsir tersebut dapat juga dikemas menjadi bentuk pemujaan, maka akibatnya bentuk pemujaan kepada Tuhan dan bentuk ibadahnya bervariasi dari satu tempat ke tempat lain walaupun intinya sama. Dan tentang kemerdekaan memberikan tafsiran terhadap ajaran Hindu, di dalam Mahabharata dapat dijumpai sebuah pernyataan : “Bukanlah seorang maharesi (muni) bila tidak memberikan pendapat terhadap apa yang dipahaminya” (Radhakrishnan dalam Titib, 2003 : 43). Inilah salah satu ciri atau karakteristik dari agama Veda (Hinduisme).
Dari perjalanan sejarah yang sangat panjang tersebut, Hinduisme sangat mudah dan secara terus menerus menyerap adat istiadat dan gagasan dari orang-orang dengan siapa mereka mengadakan hubungan. Sehingga dengan demikian, dalam Hinduisme akan sulit dirasakan untuk menemukan suatu bentuk-bentuk keseragaman yang dapat dianggap sebagai dari bentuk-bentuk yang demikian yang beraneka ini.
Jadi, agama Veda (Hindu) bukanlah agama tunggal dengan keyakinan terbatas. Ia  lebih bersifat gabungan dari berbagai kepercayaan. Di dalamnya ditampung segala type manusia dan disediakan hidangan spiritual bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan dan pertumbuhannya masing-masing. Agama Hindu bagaikan sebuah museum yang di dalamnya terdapat bermacam-macam ajaran dari kelompok filsafat  Vedanta. Dan karena keuniversalan dan keluwesan Veda tersebut  maka muncullah berbagai macam sekte dalam agama Veda (Hinduisme). Namun demikian, perbedaan di antara sekte-sekte di dalam Hinsuisme tidak lebih hanya pada permukaannya saja dan Hindu tetap saja merupakan satu unit kebudayaan dengan cirinya sendiri, dengan persamaan sejarah, kesusasteraan dan peradaban.

III.             Sekte-sekte dalam Agama Hindu
a.       Sekte Bhakti
Sekitar tahun 500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan dan kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya kadang-kadang dinyatakan dengan mempersembahkan berbagai macam buah-buahan dan bunga-bungaan kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara mengitari kuil-kuil tertentu. Puja dan bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat dan sikap badan tertentu, seperti sikap merebahkan dan meniarapkan diri di dekat patung yang terdapat dalam kuil atau tempat-tempat yang dianggap suci lainnya sambil mengucapkan beberapa doa.[2]
Urain tentang bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan Shadilya Sutra. Kitab ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di India. Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan” dan juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah” setulus-tulusnya (prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada “dewa” semata dengan segenap avatara atau ingkarnasinya. Karena itu barang kali ada benarnya kalau dari pengertian di atas dikatakan bahwa bhakti lebih tinggi daripada meditasi falsafi.[3]
Wujud bhakti memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan rasa bhakti yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya:[4]
Menghormati adalah pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan baik yang nyata maupun tidak nyata. Kita patut saling hornat menghormati sesama makhluk hidup, sesama ciptaan Tuhan yang mana masing-masing ciptaan-Nya itu telah memiliki hukumnya masing-masingyang seharusnya berjalan selaras dengan perputaran roda hukumnya masing-masing.
Memuja adalah wujud bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada kebesaran Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhananyang memberi berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini. Puji-pujian yang dikidungkan dalam pemujaan adalah untuk ymenyenangkan yang dipuja, mewujudkan rasa senang dan rasa tenang dalam kebahagiaan.
Berdoa adalah wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya. Atas ketidak mampuan dan keterbatasan kita wajib berdoa agar diberkati dan diampunu segala dosa serta kekurangan- kekurangan kita.berdoa adalah sebagai wujud rendah hati, sebagai wujud  kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia.
Menyembah adalah bentuk bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan tulus dan penuh kepasrahan terhadap kemaha agungan Tuhan.

b.      Sekte Wisnu
Sekte ini lebih mmengutamakan pemujaan kepada dewa Wisnu karena dewa ini sangat sympatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan  bhakti (cinta).
Pandangan pengikutnya antara lain menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan Bhaktinya ialah yang dapat memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya, karena itu cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepada-Nya.
Sikap penyerahan diri kepada-Nya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala kebaikan bhakti Wisnu itu dilukiskan dengan panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab Purana
Didalam kitab tersebut diceritakan bagaimana manifestasi can kebaikan bhakti Wisnu dalam usahanya menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan. Dengan jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.
Kesepuluh avatara tersebut adalah:[5]
(1)   Matsyavatara, berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda dunia yang akan menenggelamkannya.
(2)   Kurnavatara, sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudera guna mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang bilamana diminum orang akan mengalami hidup kekal abadi.
(3)   Narashimha, sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa dibunuh olehsiapapun.
(4)   Varahavatara, sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan menggigit bumi yang pada saat itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5)   Vamanavatara, sebagai oarang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama Narashinka. Cucu raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
(6)   Budhavatara, sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang menyebarkan ilmu palsu.
(7)   Parasuramvatara, sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak) membunuh beberapa kesatrya yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas penghinaan tersebut.
(8)   Ramavatara, rama sebagai kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana ia kehilangan isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak rakus dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta dapat merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama tersebut diuraikan dalam kitab Ramayana).
(9)   Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10)  Kresnavatara, sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura kemenakan Kresna).
Semua avatara Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang mencerminkantentang kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” di dunia dan manusia dari kehancuran hidupnya.
Wisnu biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya pokok atau sekte, diantaranya yang sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.[6]
c.       Sekte Siwa
Penganut Hindu dari sekte Siwa meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa.
Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Mantra itu sebagai berikut: [7]
  1. Om Ang Prasada Kala Siwaya namah
  2. Om Ang Stiti Kala Siwaya namah
  3. Om Ang Kala-kutha Siwaya namah
  4. Om Ang Maha-suksma Siwaya namah
  5. Om Ang Suksma Siwaya namah
  6. Om Ang Anta-kala Siwaya namah
  7. Om Ang Adhi-kala Siwaya namah
  8. Om Ang Parama Siwaya namah
  9. Om Ang Ati–suksma Siwaya namah
  10. Om Ang Suksma-tara Siwaya namah
  11. Om Ang Suksma-tama Siwaya namah
  12. Om Ang Sada Siwaya namah
  13. Om Ang Parama Siwaya namah
  14. Om Ang Sunia Siwaya namah
Pendeta Siwa yang mengucapkan dan meresapkan Mantra Catur Dasa Siwa ingin mendudukkan Siwa dalam tubuh/ dirinya mulai dari bagian bawah tubuh sampai ke bagian atas tubuh, yakni:
  1. Mantra nomor 1 untuk kaki kanan
  2. Mantra nomor 2 untuk kaki kiri
  3. Mantra nomor 3 untuk perut
  4. Mantra nomor 4 untuk pusar
  5. Mantra nomor 5 untuk hati
  6. Mantra nomor 6 untuk tangan kanan
  7. Mantra nomor 7 untuk tangan kiri
  8. Mantra nomor 8 untuk mata kanan
  9. Mantra nomor 9 untuk mata kiri
  10. Mantra nomor 10 untuk telinga kanan
  11. Mantra nomor 11 untuk telinga kiri
  12. Mantra nomor 12 untuk sela-sela alis
  13. Mantra nomor 13 untuk ujung hidung
  14. Mantra nomor 14 untuk ubun-ubun
Pemeluk-pemeluk aliran ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa ini, karena ia dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang menggambarkan akan kekuasaannya yang besar. Kekuasaannya meliputi: penentuan hidup dan matinya manusia dan kekuasaannya adalah yang tertinggi diantara dewa-dewa.
Pada masa permulaan Agama Hindu, Siwa tidak pernah dipuji orang sebagaimana halnya Wisnu. Sebagai tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan tangan empat. Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada dewa atupun yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma menjadi dewa Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut yang saleh dan suka membimbing manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai ciri watak-wataknya sebagai guru, dia disimbulkan dalam bentuk orang yang membawa kendi, sapu lalat (cemara) dan tasbih ( akshamala). Tetapi bilamana ia sedang menjelma menjadi Mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas merusak apa yang dikehendaki dan kejam. Oleh karena itu sebagai tanda pada Kroda (amarahnya) diberi simbol Parasu (Kanpak), Trisula (lembing dengan tiga mata). Dan Fesu (jaring).[8]
Jadi keistimewaan Dewa Siwa ini adalah dapat mempunyai watak/sifat-sifat pribadi yang satu sama lain kadang-kadang berlawanan. Dalam pemujaan-pemujaan demikian mereka memberikan korban-korban dan saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah pimpinan pendeta-pendetanya.

d.      Sekte Sakti
Paham Saktiisme, atau disebut juga Kalaisme, Kalamukha, atau Kalikas (Kapalikas),adalah paham  yang dianut oleh penduduk asli India, Karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka oleh bangsa Arya disebut Sudra Kapalikas.
Aliran ini memusatkan pemujaan terhadap Devi/Dewi  sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga atau Kali). Sebagai sakti (istri) Dewa Siwa, kedudukan Dewi Durga ini lebih ditonjolkan daripada dewa itu sendiri. Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran ini disebut Kalimasada (Kali-Maha-Husada), artinya “Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab” dalam zaman kekacauan moral, pikiran, dan perilaku.
Pengikut Saktiisme ini tidak mengikuti sistem kasta dan Veda (Weda). Dalam menunaikan ajaran, pengikutnya melaksanakan Panca Ma yang diubah arti dan pemahamannya menjadi pemuasan nafsu; maka dari itu akhirnya aliran ini dikucilkan dari Veda, keluar dari Hindusme.[9]
Sebenarnya aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk Darga, dan karena lebih luasdan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau dianggap sebagai salah satu aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu. Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat apa-apa karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting daripada Siwa sendiri. Segala sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif. Yaitu persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[10]
Persatuan antara Siwa dan Saktinya adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti yang ssangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta melalui persatuan tersebut, maka egala sesuatau mengandung kekuatan dan Sakti Siwa. Bentuk-bentuk tertentu dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak mengerti saja yang beranggapan bahwa ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru, karena anggapan itu hanya didasarkan pada kesadaran manusia sendiri. Untuk mencapai kebenaran dan kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini. Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran bahwa segala sesuatuadalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua adalah baik.[11]
Kesadaran in dapat dicapai melalui beberapa tahap, yaitu:
·         VedaCara
Yaitu melakukan korban dan mengucap mantra. Ini disebut Kriya-Marga.
·         VaisnavaCara
Yaitu Bhatiseperti yang dilakukan pada aliran wisnu (disebut Bhakti-Marga)
·         SaivaCara
Yaitu jalan penalaran untuk mengenal sifat siwa yang sebenarnya(jalan pengetahuan, atau Jenana-Marga)
·         DaksinaCara (Jalan Kanan)
Yaitu jalan orang yang sudah sadar akan sifat siwa yang sebenarnya sehingga sesembahan dan puja tidak lagi ditujukan kepada siwa, tetapi kepada saktinya.
·         VamaCara (Jalan Kiri)
Yaitu jalan bagi orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dan dilakukan dibawah bimbingan seorang guru. Dalam tingkatan ini seseorang menjadi sadar bahwa segala sesuatu adalah sakti, baik. Yang harus dinyatakan dalam amalan yang terlarang bagi awam.
·         SiddhantaCara
Yaitu jalan kesadaran sejati, jalan keinsyafan. Berlaku hanya dikalangan orang yang sudah tidak lagi terikat oleh kebiasaan umum. Bagi merfeka segala sesuatu adalah baik.
·         KaulaCara
Yaitu jalan orang yang sudah sadar dan menghayati bahwa segala sesuatu adalah sakti dan satu dengan siwa. Orang seperti ini telah mencapai moksa sewaktu masih hidup didunia ini.

e.       Sekte Tantra
Sebenarnya sekte ini dapat dimasukkan sebagai bagian dari sekte Sakti, tetapi karena beberapa pertimbangan dianggap sebagai salah satu sekte sendiri dalam agama Hindu. Aliran ini disebut dengan Tantranaya karena mendasarkan diri pada kitab-kitab Tantra. Sekte Tantra merupakan perpaduan yang sinkretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk keperayaan primitif di India. Aliran ini juga terdapat pada agama Budha; sementara dalam agama Hindu terdapat dalam kalangan para pemuja Siwa.[12]
Kajian Sejarah
Beberapa orang Indolog beranggapan bahwa ada hubungan antara Konsep-Dewi (Mother-Goddes) yang bukti-buktinya terdapat dalam suatu zeal di Lembah Sindhu (sekarang ada di Pakistan) dalam kurun waktu sebelum zaman Weda, dengan Konsep Mahanirwana Tantra, Konsep ini berpangkal pada percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang Sada-Siwa yang membentangkan turunnya Dewi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku. Dalam beberapa sumber Dewi Durga juga disebut Candi. Dan sinilah pada mulanya muncul istilah “candi” (candikaghra) untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja dewa dan arwah yang telah suci, Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku disebut Kalimosada (Kali-maha-usada,) yang artinya Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan perilaku; sedangkan misi Beliau turun ke bumi disebut Kalika-Dharma.
Dan konsep Dewi itu muncullah Saktiisme yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada Sakti yang merupakan suatu kekuatan daripada Dewa. Di dalam konsep monodualis bahwa Nirguna Brahma dalam Dewa bersifat pasif yang juga disebut Dewi. Dari sini muncullah istilah Dewa dan Dewi atau Bhatara-Bhatari yang oleh pikiran manusia dipandang sebagai manifestasi tersendiri dan juga dipersonifikasikan dalam imajinasi manusia secara tersendiri pula. Para pemuja sakti ini disebut Sakta.
Dalam perkembangannya lebih lanjut dari Saktiisme ini, maka muncullah Tantriisme yaitu suatu paham yang memuja Sakti secara ekstrim. Para penganut paham ini disebut Tantrayana. Istilah “Tantrayana” berasal dari akar kata “tan” yang artinya ‘memaparkan kesaktian “atau” kekuatan daripada Dewi itu”. Di India penganut Tantriisme lebih banyak terdapat di India-Selatan daripada di India Utara. Kitab-kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam antara lain Mahanirwana Tantra, Kulanarwana Tantra Bidhana, Yoginihrdaya Tantra, Tantrasara dan lain sebagainya. Tantrayana berkembang luas sampai ke Cina, Tibet dan Indonesia. Dari Trantriisme muncullah suatu paham Bhairawa yang artinya “hebat”. Paham Bhairawa secara khusus memulai kehebatan daripada Sakti dengan cara-cara yang spesifik. Bhairawa inipun berkembang sampai ke Cina, Tibet dan Indonesia.
Di Indonesia masuknya Saktiisme, Tantriisme dan Bhairawa dimulai sejak abad ke-7 melalui kerajaan Sriwijaya di Sumatera sebagaimana diberikan persaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India Selatan dan Tibet. Dari peninggalan purbakala dapat diketahui ada tiga macam Bhairawa yaitu: Bhairawa Heruka yang terdapat di Padang Lawas-Sumatera Barat, Bhairawa Kalacakra yang dianut oleh Kertanegara, raja Singosari - Jawa Timur serta oleh Adhityawarman pada zaman Gajah Mada di Majapahit dan Bhairawa Bhima di Bali yang arcanya kini ada di pura Kebo Edan Bedulu Gianyar. Aliran-aliran Bhairawa ini mempunyai tendensi politik guna mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan menjaga keamanan negara (baca kerajaan). Maka dari itulah Bhairawa ini diikuti oleh raja-raja dan petinggi pemerintahan serta tokoh-tokoh masyarakat saja pada zaman dahulu. [13]
Doktrin Tantrayana
Ajaran Tantrayana dibentangkan dalam kitab-kitab Tantra-Sastra yang juga disebut kitab-kitab agama yang banyaknya kurang lebih 64 buah. Pada dasarnya Konsepsi-Ketuhanan (Theisme) dalam Tantrayana adalah Monoisme yaitu pemujaan terhadap satu Tuhan yang disebut Brahman. Konsep ini dijelaskan dalam Mahanirwana Tantra (12) dengan suatu kalimat berbunyi “Om Saccidekam Brahman” (Om, hanya satu kesadaran tertinggi yang disebut Brahman), Konsep Monisme ini muncul dari pandangan Advaita dalam Wedanta Darsanam. Fokus ajaran Tantrayana adalah wujud suatu keseimbangan dalam kehidupan di dunia ini. Ditekankannya bahwa keseimbangan kesejahteraan material dengan kesejahteraan rohani adalah sangat penting untuk terwujudny jagadhita, karena jagadhita ini memotivasi munculnya ketenangan batin yang merupakan suatu syarat mutlak untuk mencapai ketenangan jiwa (bhukti) yang selanjutnya akan menuju moksa (mukti), untuk terwujudnya keseimbangan itu, Tantrayana mengajarkan dua sistem yang ditempuh yaitu : wahya dan adhyatmika (sekala dan niskala). Pernyataan produk kedua sistem ini akan dapat mewujudkan jagadhita dalam kehidupan. Dalam konteks sistem ini, maka konsep Monisme itu dikembangkan menjadi konsep Monodualis yaitu : satu itu dijadikan dua dan dua itu disatukan seperti yang telah dipaparkan di depan.
Upacara
Tantrayana menekankan betapa pentingnya upacara agama (ritual) dilakukan, karena peran upacara agama merupakan suatu aktivitas untuk memujudkan keseimbangan hidup di dunia ini. Di dalam kitab Mahanirwana Tantra dibentangkan prinsip-prinsip upacara Panca-Yajna yang perlu dilaksanakan. Disebutkan pula materi atau sarana-sarana yang digunakan upakara termasuk penggunaan binatang korban dalam kaitannya dengan caru. Tantrayana secara rinci menjelaskan tata-cara melakukan yajna serta kepada siapa yajna itu dipersembahkan. Dengan memperhatikan isi kitab-kitab Tantra Sastra yang memuat ajaran Tantrayana dapat dipahami, bahwa bentuk-bentuk upacara dan upacara yajna yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat adanya pengaruh dari Tantrayana, di samping juga mendasakan kepada berbagai Sastragama Hindu sebagai penjabaran dan Catur Weda, serta disemarakkan oleh produk sosial budaya daerah yang berasal dari alam pikiran pra-Hindu di Indonesia.
Tapa dan Brata
Pengendalian din melalui tapa dan brata sangat ditekankan dalam Tantrayana. Istilah tapa berasal dan akar kata tap artinya panas. Bertapa artinya memusatkan pikiran (cita) kepada Hyang Widhi dalam manifestasi tertentu, Di dalam melaksanakan pemusatan pikiran itu badan akan merasa panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang muncul pada diri kita ketika memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran (mala) yang melekat pada Sthulasarira, suksmasarira dan antahkarana (malatraya).
Brata adalah suatu disiplin batin yang memuat dua hal yaitu : keharusan dan larangan; apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tantrayana mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yaitu : Panca tattwa atau 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya: makan ikan sebanyak-banyaknya. Mada: meminum tuak sebanyak mungkin. Mansa: makan daging sebanyak-banyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya. Akhirnya Mauethua: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.[14]
Sesungguhnya Pancatattwa ini adalah rasional dan alamiah serta mengandung filosofi yang dalam. Arthur Avalon mengkaji hal ini secara panjang lebar dan mendalam dalam bukunya Sakti and Sakta. Pada prinsipnya Pancatattwa ini merupakan suatu filosofi hubungan bhuwana agung dan bhuwana alit yang mengandung nilai selaras serasi dan seimbang. Kendatipun demikian, namun penerapan Pancatattwa ini sering menyimpang dari filosofinya, dikarenakan oleh kelemahan manusia menghadapi pengaruh sadripu sehingga seringkali Pancatattwa itu diartikan sebagai Mahakamapancikam yaitu pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar.
Puja-Mantra
Mahanirwana Tantra yang dijadikan dasar pegangan oleh Tantrayana sangat karya dengan Puja dan Mantra, Mantra-mantra seperi : Mula Mantra, Bija-Mantra, Kutha Mantra, Astra Mantra, dan Kawaca Mantra serta berbagai Wijaksara yang digunakan oleh Sulinggih di Bali, menurut basil penelitian berasal dari Mahanirwana Tantra. Demikian pula Stuti dan Stawa yang digunakan di Bali, sebagian berasal dan Puja Mantra Tantrayana. Mudra dan Siwa-upakarana yang yang digunakan oleh Sulinggih di Bali, berasal dari Mahanirwana Tantra. Selain mengambil sumber dari Mahanirwana Tantra, bahwa Puja-Parikrama di Bali mengambil sumber dari Catur Weda dan dari berbagai Upanisad.
Mistik Hindu selain dimunculkan oleh konsep Tantrayana, namun juga dimunculkan oleh Atharwa-Weda. Sebagaimana dimaklumi, bahwa Atharwa-Weda memuat  formula-formula untuk menguasai kekuatan gaib dalam rangka mengamankan pelaksanaan upacara agama. Dari sini dapatlah dipahami mengapa agama Hindu menggunakan Wijaksara (magic sylable). Mudra dan Nyasa (lambang-lamhang gaib) dalam konteks upacara agama. Di Bali, munculnya upacara yang bersifat khusus dengan menggunakan upakara yang khusus pula dan spesifik seperti : Caru Lebur Sangsa, Caru Nwagempang, Pangelukatan Dyus Kinurungan, Labaan Babahi, dan lain sebagainya, dapat dipandang berasal dari kedua konsep tersebut tadi.
Tokoh Penganut Tantra Di Indonesia
Ratu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaa Singhasari juga penganut ajaran ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.[15]

IV.             Kesimpulan
Sebagai yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, dalam agama hindi juga terdapat aliran-aliran atau Sekte-sekte yang masing-masing mempunyai konsep tersendiri dalam nenanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih penting daripada ajaran pokoknya.





Daftar Pustaka
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet ke- I 1988.
Arifin. Menguak Misteri Alaran Agama-agama Besar.
Madra, I Ketut. Tuhan Siva dan Pemujaannya. Surabaya: Paramita, 2007
Parbasana, I Noman. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan yang Universal. Denpasar: Widya Dharma, 2009
Sivananda, Sri Swami. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita, 2003


[2] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 76
[3] Ibid., hal., 76
[4] I Nyoman Parbasan. Panca sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan (Denpasar: Widya Dharma, 2009) h. 65
[5] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986) h. 84
[6] Sri Swami Siwanada. Intisari ajaran hindu (Surabaya: PARAMITA, 2003) h. 144
[8] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1086) h. 86
[10] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 85
[11] Ibid. h., 85
[12] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 86
[14] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press) h. 88

0 komentar:

Posting Komentar