Pages

Rabu, 21 November 2012

SEZARAH AGAMA HINDU MULAI ZAMAN PERADABAN LEMBAH SUNGAI INDUS, ZAMAN VEDA VERIODIC, ZAMAN KLASIK SAMPAI DENGAN KEMERDEKAAN INDIA




BAB 1
PENDAHULUAN
Hinduisme biasanya selalu dikaitkan dengan mitos Aryan. “mitos Aryan” ini adalah kepercayaan bahwa Hinduisme merupakan ciptaan  suku Aryan yang masuk ke India sekitar 2000 Tahun Sebelum  masehi.[1] Dan Agama Hindu ini berkembang sejak 1500 S.M yang bersamaan dengan masuknya bangsa Arya (Indo Jerman) ke India utara. Mereka mula-mula menduduki sungai Indus, yang kemudian bercampur dengan penduduk asli yaitu suku Bangsa Dravida di India Utara. Kepercayaan bangsa Arya yang berpadu dengan kepercayaan penduduk asli menjadi semacam  syncretisme (peleburan)  yang  membentuk agama Hindu. Teori-teori keagamaan yang kemudian timbul dari agama tersebut juga menggambarkan pengaruh kebudayaan bangsa Arya dan penduduk asli India.[2]

BAB 11
PEMBAHASAN

  A.    ZAMAN PERADABAN LEMBAH SUNGAI INDUS
  
         Peradaban India kuno dikenal sebagai peradaban Lembah sungai Indus. Dan antara tahun 3000 – 2000 Sebelum Masehi, rupa-rupanya di lembah sungai Sindhu (Indus) tinggalah bangsa-bangsa yang peradabannya menyerupai kebudayaan Sumeria di daerah sungai Efrat dan Tigris. Berbagai cap dari pada gading dan tembikar yang ada tanda-tanda tulisan dan lukisan-lukisan binatang, menceritakan kepada kita adanya persesuaian di dalam peradaban tersebut. Sudah pasti, bahwa di  dalam zaman itu di sepanjang pantai dari laut Tengah sampai keteluk Benggala terdapat sejenis peradaban yang sama dan yang sudah meningkat pada perkembangan yang tinggi. Sisa-sisa kebudayaan tersebut terutama terdapat di dekat kota Harappa di Punjab dan di sebelah utara Karachi. Bahkan disitu diketemukan sisa-sisa sebuah kota Mohenjodaro namanya, dimana ternyata orang telah mempunyai rumah-rumah yang berdinding tebal dan bertangga. Penduduk India pada zaman itu disebut “bangsa Dravida”. Mula-mula mereka tinggal diseluruh negri India, tapi lama kelamaan hanya tinggal dibagian selatan dan memerintah negrinya sendiri, karena mereka disebelah utara hidup sebagai orang taklukan dan bekerja pada bangsa-bangsa yang merebut negri itu. Mereka adalah bangsa-bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih berperawakan kecil dan rambut keriting.[3] 
    Antara tahun 2000 – 1000 Sebelum Masehi dari sebelah Utara masuk ke India kaum Arya, yang memisahkan diri dari kaum sebangsanya di Iran yang memasuki India melalui jurang-jurang di pegunungan Hindu Kush. Bangsa Arya itu serumpun dengan bangsa Jerman, Yunani, Romawi dan bangsa-bangsa lain di Eropa dan Asia. Mereka tergolong dalam apa yang kita sebut rumpun bangsa Indo Jerman. Mereka berkulit putih dan berbadan tegap, bentuk hidungnya melengkung sedikit. Namun peradabannya lebih rendah dari bangsa Dravida.[4] Tetapi disitu mereka makin bercampur dengan bangsa dravida dan dengan dmikian terwujudlah akhirnya suatu kesatuan. Berkat peleburan kebudayaan Dravida yang tua itu dengan kebudayaan Arya terjadilah kemudian kebudayaan India.[5] 
Semula orang beranggapan bahwa kebudayaan India itu seluruhnya merupakan kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya, tetapi setelah penggalian-penggalian di Mohenjodaro dan Harappa, berubah pandangan orang. Ternyata kebudayaan bangsa Arya lebih rendah daripada bangsa dravida. Umpamanya saja, bangsa arya belum mempunyai patung-patung Dewa, sedangkan bangsa Dravida sudah.[6] 
Mungkin sekali bangsa-bangsa Arya itu, ketika mereka masuk ke India, kurang beradab daripada bangsa Dravida yang ditaklukannya. Tetapi mereka lebih unggul di dalam ilmu peperangan dari pada bangsa Dravida.[7] 
Jadi dapat dikonsentrasikan dengan jelas, bahwa agama Hindu tumbuh dari dua sumber yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang berlainan, yang mula-mula dalam banyak hal sangat berlainan tetapi kemudian melebur menjadi satu.[8]
      B.     Zaman Veda Veriodic 
         Para Arya yang masuk ke India membawa agama yang memuja serta mengabil hati para Dewa yang melambangkan kekuatan-kekuatan alam. Dibawah pengaruh mentalitas religius lokal, sistem pemujaan kaum Arya berkembang menjadi dua aliran yang berbeda, yakni : yang ritualistik dan yang filosofis. Di satu pihak, pemujaan terhadap alam memberikan tempat bagi perkembangan ritual canggih yang berpusat pada berbagai macam upacara kurban  (yajna) dan hanya boleh dilakukan pendeta-pendeta profesional. Dan di pihak lain, sebagai reaksi terhadap tradisi ritualistik, aliran filosofis mencoba untuk menemukan kehadiran Roh atau Kesadaran (spirit) yang meliputi semua dibalik pluralitas para Dewa.[9] 
      Di zaman Weda periodic ini terdapat 3 fase yaitu: weda, Brahmana dan Upanishad                                        1. Masa Veda (1500 S.M -1000 S.M)
          Pada zaman ini hidup keagamaan umat Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Shamita, yang berarti pengumpulan Weda. Kata Weda berasal dari kata “Wid” yang artinya tahu. Menurut tradisi Hindu kitab ini ialah buah ciptaan dewa Brahma kepada para Resi  atau para Pendeta.[10] Isi weda pada mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk puji-pujian oleh para Resi. Weda Shamita terbagi menjadi empat bagian, yaitu:[11]  
      Rig Weda (Rig artinya memuji), weda ini sebagian besar memuat puji-pujian atau mantra-mantra kepada 
      Dewa-Dewa, yang pada perayaan Soma dibacakan bagi para Dewa-Dewa.[12]
2     Sama Weda, isinya hampir sama dengan Rig Weda, hanya diberi “sama” atau lagu.
3   Yayur Weda, weda ini, berisi yayur atau rapal. Rapal tersebut dipakai untuk mengubah korban menjadi makanan para Dewa.
4      Atharwa weda, berisi Mantra-Mantra Khusus untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir Roh jahat, dan sebagainya. 
        Isi kitab Weda pada umumnya mengenai Ritus (upacara-upacara keagamaan) terutama soal korban. Bermacam-macam cara korban diuraikan di dalamnya. Dan Korban-korban itu dipersembahkan kepada para dewa-dewa.[13] 
           Dua Dewa utama dalam kidung Rig Weda adalah Indra dan Agni, dewa Indra, dalam aspek kosmisnya adalah pembebas dari air bah, dalam aspek duniawinya , ia adalah pahlawan yang memimpin kaum Aryan berkulit kuning langsat dalam mengalahkan kaum non-Aryan yang berkulit gelap. Indra juga dilihat sebagai penguasa alam svarloka, yakni dunia cahaya Pikiran Ilahi (Devine Mind. Kekuatan ‘Ada’ atau Eksistensi murni yang termanifestasi sebagai Pikiran Ilahi. Dia turun ke dunia kita sebagai pahlawan dengan kuda-kuda bersinar dan menghilangkan kegelapan serta perpecahan.
n         ‘Api’ (Agni) merujuk pada wilayah domestik dimana ia mempertahankan kesalehan. Dalam Weda, Agni adalah dewa yang paling penting serta paling universal. Dalam dunia fisik, dia adalah penelan serta penikmat yang umum. Dia juga merupakan pemurni, artinya ketika ia menelan atau menikmati, kemudian Dia juga memurnikan.
          Dewa utama ketiga adalah Soma, yakni dewa minuman yang menyegarkan, dalam kitab Weda, Soma adalah figur bagi kenikmatan Ilahi (Divine ananda), prinsip kebahagiaan  darimana eksistensi manusia ditarik. Kesenangan rahasia ini merupakan dasar eksistensi yang mempertahankan substansi. Anggur soma menyimbolkan penggantian kenikmatan inderawi dengan kenikmatan Ilahi (ananda). Substansi itu terjadi melalui transformasi tindakan dan pikiran ke arah yang Ilahi. Jadi, soma adalah rajanya anggur kenikmatan, yakni anggur keabadian. Anggur soma yang dipergunakan dalam ritual kurban merupakan simbol anggur kesenangan hati.
           Ada banyak dewa yang bertugas diwilayah surgawi, udara dan bumi. Varuna misalnya adalah dewa yang mengesankan dan bertugas diwilayh surgawi, Indra di wilayah udara dan Agni diwilayah Bumi. [14] Pandangan mereka terhadap dewa-dewa zaman permualaan Weda ini, pada hakikatnya adalah seperti kepercayaan bangsa Arya di Iran sebelum mereka masuk India dahulu. Mereka mempercayai dan menyembah banyak dewa dan dewa itu antara satu dengan yang lain sama tinggi kedudukannya. Dewa-dewa tersebut kadang-kadang satu diantaranya dianggap paling atas tetapi disaat lain berganti dewa lain yang dianggap menduduki tempat tertinggi.[15] 
           Menurut kepercayaan kuno, disamping dewa-dewa masih ada roh-roh jahat yang berkusa dan sebagian merupakan musuh dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau(Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaannya adalah Raksa dan Visaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai manusia dan binatang. Adalagi roh halus seperti gandarwa, yaksa, Bhuta dan Raksasa.[16]
2      2. Masa Brahmana (1000 SM – 750 SM) 
           Berbeda dari naskah atau kitab Samhita, kitab Brahmana disusun oleh para pendeta Brahmana sekitar abad ke-8 S.M. untuk menjelaskan daya kekuatan korban. Dengan kata lain, kitab tersebut bukanlah kitab puji-pujian kepada para dewa, tetapi merupakan kitab yang berisi keterangan-keterangan dari para Brahmana tentang korban dan sesaji.[17] 
            Dalam kitab-kitab sebelumnya, terutama Shamita, seluk beluk korban terhadap dewa belum diketahui. Penjelasan mengenai cara dan peraturan penyelenggaraan korban baru ada dalam kitab Brahmana, disertai tafsiran-tafsiran yang lengkap dalam kitab wedanga. Sejalan dengan itu maka pandangan terhadap penting tidaknya suatu dewa juga mengalami perubahan. Beberapa dewa bahkan kemudian tidak memegang peranan penting lagi. Dewa Waruna sebagai pengawas tata tertib kosmos berubah turun martabatnya menjadi dewa laut. Dewa-dewa yang kemudian muncul dalam agama ini adalah dewa Brahma dan Siwa. Wisnu kemudian menjadi Prajapati. Dewa Rudra menjadi sangat penting dan disebut dengan Siwa Rudra, serta dianggap sebagai manusia dewa yang juga harus menerima korban seperti dewa-dewa tertentu lainnya.[18]
a       a. Korban
       Korban yang semula diperuntukan kepada para dewa dengan harapan agar para dewa tersebut melimpahkan kesejahteraan, ketenangan dan ketentraman, atau agar para dewa menjauhkan segala marabahaya, berubah menjadi memiliki suatu daya magis yang lebih berkuasa dari pada dewa-dewa itu sendiri dan dimaksudkan untuk mentransfer daya kekuasaan para dewa kepada kekuasaan para pendeta. Hal ini diperkuat lagi dengan usaha para Brahmana untuk menentukan perkembangan baru tersebut secara tersebut secara menyeluruh, terutama karena dalam perkembangan selanjutnya kitab weda menjadi kurang penting. Menurut Hoing, perkembangan ini secara singkat dapat disebut dengan pengukuhan kekuasaan golongan pendeta (Brahmana), apalagi banyak orang yang tidak lagi dapat memahami isi kitab-kitab Weda sehingga para Pendeta memperoleh kesempatan yang leluasa untuk memperkokoh kedudukan mereka di mata rakyat. Hanya mereka sajalah yang mengetahui seluk-beluk upacara keagamaan yang banyak itu. Menyimpang sedikit saja dari ketentuan upacara yang telah ditetapkan, maka korban akan menjadi sia-sia. Dalam agama Brahmana, magi ini semakin menguasai kehidupan agama Hindu.
           Pergeseran penting dalam hal kurban ialah semakin tingginya nilai yang diberikan kepada korban tersebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud dan tujuan korban sangat tergantung pada kekuatan korban itu sendiri, dan tidak tergantung pada kemurahan dewa tetapi pada kekuatan yang ada pada arti bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Dalam hal ini pemilihan mantra yang tepat akan sangat menjamin keberhasilan korban. Demikian pula, pengucapan mantra itu secara tepat dan melakukannya secara tepat tepat juga merupakan hal yang sangat menentukan. Kesalahan dalam hal ini akan menyebabkan korban tidak memiliki kekuatan apapun. Kekuatan korban tersebut sangat menentukan bukan hanya terhadap nasib manusia tetapi bahkan juga terhadap nasib alam semesta dan para dewa. Penjelasan mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam kitab wedanga. Oleh karena yang mengetahui hal-hal tersebut adalah para brahmana, bahkan mereka juga dapat mengetahui dan mempengaruhi nasib manusia, alam semesta dan bahkan para dewa. Maka kedudukan Brahmana menjadi sangat penting.[19] 
           Upacara korban disini sebanarnya bukan lagi merupakan upacara agama yang sebenarnya. Korban disini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pda manusia dan hubungan antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat magis saja. Dalam perkembangan selanjutnya nanti, ajaran korban dalam agama Brahmana ini sangat ikecam oleh ajaran Upanishad.[20]
b      2. Kasta 
          Agama Brahmana mengenal adanya kasta-kasta, ada yang mengatakan kasta ini timbul karena perbenturan antara bangsa Arya (pendatang) dengan bangsa Dravida (asli India). Pada mulanya bangsa Arya berusaha sekuat mungkin  untuk tidak bercampur darah (asimilasi) dengan penduduk asli, karena mereka meresa lebih tinggi kedudukannya dari pada penduduk yang ditaklukannya itu. Akan tetapi akibat peperangan, beberapa suku kekurangan istri, sehingga terpaksa kawin dengan orang-orang pribumi. Jelas bahwa anak-anak mereka ini akan dianggap lebih rendah status sosialnya. Demikianlah keturunan kedua telah menimbulkan kelas antara bangsa Arya asli dengan bangsa pribumi, yaitu orang-orang yang berdarah campuran. Perkembangan seperti ini kemudian menimbulkan adanya empat macam kasta dalam gama Hindu, yaitu: kasta Brahmana (pendeta). Kstria (pemegang tampuk pemerintahan atau golongan perwira), Waisya (pekerja atau golongan  petani dan pedagang) dan Sudra (rakyat biasa atau golongan buruh atau budak).[21] 
       Prinsip dasar peraturan “catur varna” (empat kasta) adalah endogamis. Perpindahan kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya seorang laki-laki harus kawin hanya dengan wanita dari kasta yang sama dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orangtuanya.
            Varna atau kasta yang lebih tinggi selalu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih enak. Hal ini tercantum dalam kitab undang-undang Manawa Dharma Sastra. Isisnya ntara lain ditetapkan bahwa sesuatu kejahatan akan lebih ringan hukumannya jika yang melakukannya seorang Brahmana daripada kalau kejahatan tersebut dilakukan oleh seorang Ksatria, dan akan lebih berat lagi jika yang melakukannya seorang dari golongan lebih rendah. [22] 
             Dalam kenyataanya peraturan-peraturan tersebut tidak selalu dipatuhi sepenuhnya. Perkawinan campur antara varna cukup banyak terjadi. Karena itu terdapat varna campuran yang memiliki kedudukan tersendiri. Kelompok ini sering disebut dengan jati, atau Chandala (orang yang tidak berkasta).[23]
c      3. Asrama
             Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebutkan adanya empat tingkatan hidup yang harus dilalui oleh setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara Upanayana, yaitu upacara menjadikan seseorang seseorang anak menjadi Djiwa dan resmi sebagai anggota kasta, serta siap memasuki tingakatan hidup yang pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak tadi akan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap sebagai siswa di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Ia harus tunduk terhadap gurunya dan istri guru, petuh melaksanakan segala perintahnya dan harus mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalannya ia akan menerima pelajaran dari guru terutama tentang Dharma dan kitab suci. Jika pelajaran sudah selesai, anak segera pulang dan kawin.[24] 
            Mulailah ia memasuki tingkatan ke dua, yaitu Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan, dengan upacara tertentu yaitu: kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah kearah timur laut sambil diperciki air suci, sambil memegang tangan isterinya, suami mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap dipeliharanya di rumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suami istri. Ia menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan melaksanakan kewajiban terhadap para dewa denang menjalankan sesaji dan upacara korban. Ia juga harus melaksanakan kewajiban yang brhubungan dengan kemasyarakatan. Selanjutnya tingkatan ketiga ialah Vanaprastha, (kehidupan di hutan : vana = hutan). Tingkatan ini adalah tingakatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibannya sebagai kepala keluarga diserahkannya kepada anak laki-laki. Ada kalanya ia masuk hutan bersama isterinya supaya dapat memberikan ketenangan dan keheningan berpikir dalam upayanya mencapai kesempurnaan hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya mengabdikan diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir atau yang ke empat, ialah Sanyasin, yaitu tingkatan petapa yang telah lepas dari kehidupan dunia. Sekalipun ia msih hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalahan dunia sehingga terbuka kesempatan untuk mencapai Moksha.[25]
3      C. Masa Upanishad (750 SM – Sekarang) 
         Dengan adanya “catur asrama” itu, terutama Vanapratha dan Sanyasin menyebabkan mereka sempat mempelajari Weda dengan mendalam sehingga dapat menghasilkan kitab-kitab yang berisi renungan-renungan yang bersifat filosofis, kitab-kitab yang dikarang pada waktu mereka mengasingkan diri di hutan itu dinamakan kitab-kitab Aranyaka (kitab-kitb rimba). Diantara kitab-kitab tersebut yang diakui tinggi mutunya sebagai kitab filsafat Hindu adalah kitab Upanishad (up,ni = di dekat ; shad = duduk). Jadi Upanishad artinya duduk bersimpuh di dekat gurunya untuk mendengarkan wejangan-wejangan yang bersifat rahasia (khusus).[26] 
           Lima pokok ajaran pada masa Upanishad yang di sebut juga dengan Pancasrada, yaitu: Brahman, Atman, Samsara, Karma dan Moksa
1     1. Brahman dan Atman
             Kalau dalam agama Brahmana, Brahman diartikan doa dan kemudian kekuatan gaib yang terkandung dalam doa. Karena  dalam  agama Brahmana korban dan doa dinilai tinggi sekali maka arti Brahmanpun menjadi sangat tinggi. Sedangkan dalam agama Upanishad, Brahman dianggap sebagai yang menyebabkan segala gerakan dan perubahan Brahman menjadi semacam “jiwa alam semesta”. Hal ini diungkapkan dalam: mundaka Upanishad III,
      1: 7, 8 sebagai berikut:
“ Brahman adalah yang tinggi. Dia adalah cahaya, dia diluar pemikiran. Dia yang leih pandai dari yang terpandai. Dia bertempat pada padma hati segala wujud. Mata tidak mampu memandang melihatnya, Indra tidak mampu mencapai-Nya. Dia digapai bukan dengan kekerasa dan bukan dengan upacara korban. Jika tidak dengan sikap memilih dan menilik-nilik, hati menjadi murni, maka dalam meditasi jiwa yang universal menjadi nyata... disamping Brahman dan Atman. Dibanding dengan Brahman, Atman adalah jiwa individu dan Brahman adalah jiwa Universal. Atman bukan jasmani, bukan Idrawi, bukan kehidupan, bukan pikiran. Atman adalah jiwa individu itu sendiri...”
Dalam Upanishad kadang-kadang diungkapkan pernyataan yang mengejutkan bahwa:
“ Atman dalah Brahman”, artinya bahwa Tuhan manifestasi dalam jiwa setiap individu Ini memberikan kesatuan jiwa dengan Tuhan, dan sesungguhnya itu adalah ekspresi ungkapan ke esaan-Nya. Dengan kata lain setiap makhluk memiliki Atmannya sendiri yang menyebabkan makhluk itu sadar akan “aku” nya. Kemudian semakin jelas bahwa Upanishad mengajarkan monisme yang idealistis, bahwa segala sesuatu dapat dikembalikan kepada satu asas. Asas yang satu ini adalah Brahman dan Atman. Brahman adalah asa alam semesta dan Atman adalah asas manusia.[27]
2      2. Samsara 
            Upanishad juga mengajarkan tentang samsara, yaitu bahwa kehidupan bukan saja akan berakhir dengan kamatian, tetapi kamatianpun akan berakhir dengan kehidupan. Artinya, yang hidup akan mati dan yang mati akan hidup lagi, demikian seterusnya. Tinggi rendahnya kehidupa yang kemudian tergantung pada karma. Perbuatan baik yang lebih banyak daripada perbuatan buruk akan mengakibatkan karma yang baik sehingga kehidupan baru itu pun akan lebih baik daripada kehidupan yang sebelumnya.
           Samsara adalah perputaran kelahiran kembali. Hanya manusia yang mencapai Atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai Moksha. Orang semacam ini akan terlepas dari keterikatannya dengan proses kelahiran kembali atau samsara. Untuk dapat lepas dari samsara ia harus menghancurkan dan menumpas keinginan-keinginannya, yaitu dengan mengetahui bahwa Atman adalah adalah Brahman sehingga dapat sampai pada pengetahuan yang sejati (jnana). Barang siapa mencapai tingkatan ini akan mencapai Moksha, yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukta.[28]
3     3. Karma
            Upanishad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk terhadap karma, baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Karena meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat dari perbuatan sebelumnya.
           Hubungan antara ajaran tentang karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau perpindahan jiwa merupakan hal yang penting dalam ajaran Upanishad. Vamadewa telah mengembangkan ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau karmanya. Stelah ia mati, pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia. Barang siapa berbuat baik, ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang baik, dan sebaliknya, barang siapa yang berbuat jelek atau jahat ia akan dilahirkan kembali berulang kali di dunia supaya perbuatan-perbuatan jahatnya dapat tertebus. Hanya Atman yang mulia dan tinggi yang sudah tahu akan maya saja yang mampu mengatasi hukum karma dan mencapai kebebasan serta lepas dari samsara.[29]
4      5. Moksha 
              Moksha merupakan salah satu bagian dari panca sradha, yaitu lima kepercayaan agama hindu dimana moksha merupakan bagian terakhir dari panca srada yang berarti tujuan akhir umat hindu untuk mencapai kebebasan dan kelepasan.
               Yang dimaksud kebebasan dalam ajaran Moksha adalah terlepasnya Atman dari ikatan maya, sehingga dapat menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksha berarti ia telah mencapai kebahagiaan yang tertinggi.

     C.     ZAMAN KLASIK / MASA REAKSI (300 S.M. – 1000 M)
      Spekulasi canggih serta mistisisme intelektual ternyata tidak dapat memuaskan aspirasi religius manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi sekelompok kecil arif bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
      1. Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja yang baik.
      2. Interpretasi yang rasional terhadap masalah kehidupan manusia.
      3. Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati kehidupan dunia hewan.
  4. Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.[31] 
           Jika para petapa dan arif bijaksana membimbing beberapa murid terpilih dalam menjalankan mistisisme metafisis, maka kasta Brahmana mengembangkan teks-teks ritual rumit yang dikenal sebagai Sutra. Reaksi populer tercermin dalam gerakan-gerakan seperti: Buddhisme, jainisme, shaivisme dan Vaishnavisme. 
           Menurut Arvind Sharma, terdapat dua bentuk reaksi terhadap ritual kurban model Weda, yakni: eksternal dan Internal. Teks-teks Uphanishad yang mengkritisi tradisi sebelumnya, namun masih tetap mendudukan serta mengidentifikasikan diri dengan Weda. namun pada abad ke -6 SM, di india muncul dua gerakan utama yang mendudukan diri mereka di luar kekolotan hukum weda, yakni Buddhisme dan Jainisme. Dalam menghadapi tantangan inilah Hinduisme lantas mulai mendefinisikan dirinya. Buddhisme dan Jainisme memang menolak otoritas atau tradisi Weda, terutama mengenai komitmen terhadap tujuan serta kehidupan duniawi, institusi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak sebagian, jika tidak seluruhnya.Hinduisme merumuskan dirinya dalam menghadapi tantangan ini, dengan menyatakan validasi Weda serta hukum kasta (Varna) dan tahap-tahap Hidup ( ashrama.) pada mulanya, gerakan buddhisme dan Jainisme menarik banyak banyak perhatian orang dan menjadi kekuatan yang cukup besar. Jika kita melihat bukti-bukti arkeologis dari abad ke-2 SM. Sampai abad ke-2 M, maka bukti menunjukkan bahwa gelombang pasang sedang memihak pada Buddhisme, dan sejumlah besar orang asing yang msuk ke India pada waktu itu juga menjadi pengikut Buddhisme.
               Namun  lambat laut gelombang pasang tersebut berbalik. Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan tanda kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad ke-3 samapi abad ke-10, Hinduisme telah berhasil secara gemilang mendudukan diri sebagai agama dominan di India.[32] 
             Kebangkitan Hinduisme di masa Klasik terkait erat dengan kebangkitan kesadaran akan Weda, yang secara grafis digambarkan lewat imaji raksasa seekor babi yang merupakan inkarnasi dewa Wishnu, yang menyelamatkan bumi dari kejatuhannyan.[33]
      D.    ZAMAN PERTENGAHAN 
         Ciri utama masa ini menunjukkan fakta bahwa Islam memberikan sebuah konteks mendasar bagi perkembangan Hinduisme sebagai teks. Pendukung Alberuni, Mahmud Ghazni memimpin tujuh belas serangan yang gemilang ke India dan mematahkan perlawanan orang-orang Hindu dengan mudah. Dia lebih tertarik untuk menghancurkan kota-kota daripada membangun kerajaan. Pada tahun 1192 penguasa utama Rajput diutara dikalahkan dan dibunuh oleh Muhammad Ghuri, dan pada tahun 1200, dinasti budak ( Slave dinasti) telah mendirikan aturan Muslim di India Utara dan berakhir sampai 1858.
               Hinduisme berkembang dengan baik, sampai kedatangan Islam, dalam mengakomodasikan, jika bukan menyerap semua tantangan dalam bentuk agresi dari luar dan perpecahan lebih dalam. Islam memberikan pengaruh ganda bagi Hinduisme. Disatu pihak, Islam menganjurkan perpindahan agama; dipihak  lain Islam mendorong kecendrungan yang lebih egaliter dan monoteistik bagi kaum Hindu. Kemudian muncul tokoh-tokoh yang berusaha untuk menjembatani jurang pemisah antara keduanya.sebagai contoh adalah kabir (abad ke-15), Guru nanak (1469-1538), Dadu (1544-1603).
             Kabir menulis sekumpulan kidung (Hymns) yang dikenal sebagai “bijak” , Dadu, pengikut kabir dan pendiri ParaBrahmana-sampradaya, bermaksud menyatukan semua agama menjadi satu. Dia mengarahkan kepada para pengikutnya untuk mengumpulkan semua teks Devosional dari berbagai aliran menjadi satu kumpulan. Tulsidas (1532-1623) adalah penulis teks ramayana dalam persi bahasa Hindi (Rama-Carita-Manasa) dan Vinaya Vatrika. Guru nanak (1469-1538) menulis teks suci kaum Sikh (Granth Sahib), yang berisi kidung-kidung Yang ditulis oleh guru-guru mereka serta orang-orang religius lainnya, baik Hindu maupun Muslim.
                Memang ada interaksi antara Islam mistis dan Hinduisme, namun ajaran utama Hinduisme menarik diri kedalam kerang pelindung, dan secara mendasar berada dalam cengkraman keputusan politik, sehingga berbalik kearah penghiburan spiritual pada Tuhan. Hal ini terlihat dengan berkembangnya gaya hidup sebagai petapa atau pengunduran diri dari kehidupan duniawi. Kehidupan sanyasin menjadi semacam pelarian diri, seperti yang dilihat jelas oleh Guru Nanak. Pada sekitar abad ke -16, keekstriman Hinduisme terlihat jelas dalam karya-karya puisi devosonal dengan kualitas sensional, yang geraknnya diwakili oleh Surdas,Tulsidas,Mirabai, dan lain-lain. Gerakan Devosional ini menekankan kekuatan penyelamatan dalam nama Tuhan, terutama Krishna dan Rama, sehingga berpuncak pada pernyataan paradoks bahwa nama Tuhan adalah lebih besar dari Tuhan sendiri. Gerakan Devosional (Bhakti) ini dikatakan berasal dari India Selatan, diaman para Devoti Wishnu dan Shiwa sudah mencapai puncaknya pada abad ke-9. Sekarang kita akan pindah kewilayah India selatan.[34] 
               Islam masuk kewilayah India Selatan dengan disingkirkannya Deogiri oleh Malik Kafur pada 1307. Namun reaksi kaum Hindu di Selatan cukup menarik dan berbeda. Sejarah mencatat bahwa ketiga aliran utama Vedanta yang diwakili oleh Shankara (abad ke-9), Ramanuja (abad ke-12) dan madhva (abad ke-13) muncul di Selatan. Walaupun pemikiran Ramanuja dan Madhva  adalah lebih bersifat teistik, nemun  masih tetap mengikuti konsep Filsafat Wedanta dan bukan hanya bersifat Devosional saja. Wilayah selatan Menunjukkan kekuatan serta vitalitas lebih besar, bukan hanya secara religius, namun juga secara politis. Hal ini disebabkan adanya kerajaan Vijayanagar  yang berkuasa dari abad ke-14 sampai abad ke-17.
                  Pada masa ini, dua gerakan politik berbasis Hindu yang cukup berhasil adalah kejayaan Vijayanagar di Selatan dan kerajaan Marathas di bagian Barat India ( terlepas dari kaum Sikh di Punjab). Di masa kerajaan Vijayanagar, terjadi kebangkitan kembali studi atas Weda dan komentar Hindu atas Weda yang ditulis oleh Sayana. Kemudian juga Shivaji (1627-1680) dinobatkan sebagai tokoh ahli di bidang ritual Weda dan menyatakan dirinya sebagai pelindung Weda. puisi-puisi Devosional saat itu berpusat pada Rama dan Krishna, yang merupakan Inkarnasi Wishnu.
               Ciri paling menonjol pada masa Muslim (1200 – 1757) ini adalah berkembangnya agama Wishnu (vaishnavism). Vaishnavism populer ini disebarkan diwilayah Maharastra oleh Namadeva (abad ke – 14) dan Tukaram (abad ke-17), sedangkan di Utara, Vaishnavism berkembang dalam bentuk penyembahan terhadap Rama. Tokoh-tokoh terkenal dari India Utara adalah Ramananda (abad ke – 14), dadu (1544 – 1603) dan Tulsidas (1532 -1623).
                  Pengaruh Islam dapat dilihat dari gerakan religius di India Utara dengan ciri Monoteisme ketat, tanpa menghiraukan perbedaan kasta dan menolak pemujaan terhadap imaji (patung, gambar dsb). Sebagai contoh adalah Kabir (abad ke -15) yang mengajarkan sebuah agama Universal berdasarkan pada realisasi personal akan Tuhan yang tinggal di dalam hati manusia. Kemudian, Guru Nanak (1469-1538) mendirikan agama Sikh (1469-1538) yang berusaha menyelaraskan Islam dan Hinduisme.[35]
E        E. MASA MODERN 
                 Pengaruh kebudayaan Barat memberikan dampak menentukan bagi Hinduisme. Walaupun Hinduisme populer adn tradisional tetap manguasai masyarakat umum, namun orang-orang terpelajar sangat dipengaruhi oleh ide-ide baru yang datang dari barat. Rasionalisme dengan Positivisme cukup memikat pikiran orang-orang yang tidak puas dengan Hinduisme tradisional. Berbagai Gerakan Reformasi dimulai, dimana Brahmo-Samaj, Arya-Samaj dan Rama Krishna Mission merupakan gerakan yang paling penting.
               Masuknya orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat Hinduisme menghadapi situasi yang berbeda secara kualitatif. Pada saat yang sama, Hinduime dihadapkan dengan sebuah ancaman baru, yakni: Sains, Sekularisme dan Humanisme. Justru memulai inisiatif orang-orang Barat, pengetahuan tentang hinduisme ditemukan kembali dan termasuk studi atas kitab Weda. dampak bagi pengikut Hinduisme tampak dari pernyataan seorang tokoh  nasionalis seperti Swami Vivekananda bahwa max Muller yang mengedit Rid- Weda dimasa modern mungkin adalah rainkarnasi dari sayana dimasa kerajaan Vijayanagar.
               Pada masa reformasi awal, justru issu tentang Weda dan otoritas Weda muncul kembali kepermukaan. Tokoh reformasi Hindu pertama adalah Raja Rammohun Roy . berusaha untuk membenarkan Monoteisme yang berbasis Vedanta. Sekitar 1830, dia mendirikan gerakan Brahmo-samaj di wilayah Bengal untuk melanjutkan perjungannya. Kemudian diakhir abad ke-19, Swami Dayananda Saraswati mendirikan Gerakan Arya- Samaj di Bombay, memperkuat keabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh Gerakan Brahma-Samaj. 
             Menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perkembangan Hinduisme mengalami sebuah proses pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi hinduisme memperkeras posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena dibawah tekanan Buddhisme, Jainisme dan Materialisme. Dimasa Modern, walaupun Hinduisme sekali lagi mendapat tekanan dari sumber kristiani yang rasional, modernis dan reformis, Hinduisme tidak bereaksi dengan cara yang sama. Hinduisme sekarang meninggikan pengalaman religius diatas otoritas religius dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda.
                  Hampir semua tokoh-tokoh religius India dimasa modrn seperti B.G. Tilak (1856-1920), R. Tagore (1861-1941), Sri Aurobindo (1872-1950), dan Mahatma Gandhi (1869-1948)... semuanya mengambil inspirasi mereka dari Weda, walaupun bukan dari otoritas Weda, dan bahkan Sriramana Maharshi (1879-1950) mewajibkan pembacaan Weda secara teratur di ashram Tiruvannamalai.[36]

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manaf, Mudjahid. Sejarah Agama-Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, cet. II,1996.
Ali, Matius. Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme. Tangerang: sanggar Luxor, 2010.
 Ali, Mukti. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, cet. I, 1988. 
 Honig, A.G. Jr. Ilmu Agama. Diterjemahkan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, cet. XIII, 2011.
  H.M Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta : PT Golden Terayon Press, cet. VI,1995


[1] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.16.
[2] H.M. Arifin M.Ed, menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden terayon Press, 1995), hal.56.
[3] A.G. Honig.Jr, Ilmu Agama,  Diterjemahkan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto,  (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2011), hal. 78
[4] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 8
[5] A.G. Honig.Jr, Ilmu Agama,  Diterjemahkan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto,  (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2011), hal. 78-79.
[6] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 8.
[7] A.G. Honig.Jr, Ilmu Agama,  Diterjemahkan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto,  (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2011), hal. 79.
[8] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 8
[9] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.17
[10] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 9
[11] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.60.
[12] A.G. Honig.Jr, Ilmu Agama,  Diterjemahkan oleh M.D Koesoemosoesastro dan Sugiarto,  (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2011), hal. 85
[13] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 9-10.
[14] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.17-18.
[15] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 10
[16] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.64.
[17] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.66.
[18] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.67-68
[19] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.68-69.
[20] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.70
[21] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 13.
[22] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.71.
[23] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 14
[24] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.71-72.
[25] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 14-15
[26] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 15-16
[27] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.73-74.
[28] Mudjahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-Agama, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persad, 1996), hal. 18
[29] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta: PT. Hanindita Offset, 1988), hal.75-76
[31] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.19
[32] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.20
[33] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.21
[34] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.23-24.
[35] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.23-25.
[36] Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, ( Tangerang: sanggar Luxor, 2010), hal.26-28.

0 komentar:

Posting Komentar