Pages

Rabu, 21 November 2012

Sad Darsana Filsafat Yoga



Sad Darsana (Filsafat Yoga)
Makalah ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Hindu

Dosen Pembimbing
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh
Diana Puspasari



JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012

I.          PENDAHULUAN
Ajaran  Yoga sangat populer dikalangan Umat Hindu. Adapun pembangunan ajaran ini adalah Maharsi Patanjali. Ajaran ini adalah  merupakan anugrah yang luar biasa dari Maharsi Patanjali kepada siapa saja yang ingin merasakan kehidupan rohani. Bila kitab weda merupakan pengetahuan suci yang sifatnya teoritis, maka Yoga merupakan ilmu yang sifatnya praktis dari ajaran Weda. Ajaran ini merupakan bantuan bagi merekan yang ingin meningkatkan diri dalam bidang rohani.[1]
Dalam ajaran Jainisme dan Buddhisme juga terdapat tradisi yoga. Namun dalam makalah ini pemakalah tidak akan membahas yoga dalam ajaran tersebut tetapi fokus pada yoga dalam konteks Hinduisme saja.
II.         YOGA
A.    Pengertian Yoga
Secara etimologi, kata yoga diturunkan dari kata yuj ( sansekerta), yoke (Inggris), yang berarti ‘penyatuan’ (union). Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, trasenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Panini, yoga diturunkan dari akar sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang berbeda, yakni: penyerapan, samadhi (yujyate) menghubungkan (yunakti), dan pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang  biasa dipakai adalah ‘meditasi’ (dhyana) dan penyatuan (yukti).[2]
B.     Tokoh Yoga
Pendiri dari sistem Yoga adalah Hiranyagarbha dan Yoga yang didirikan oleh Maharsi Patanjali merupakan cabang atau tambahan dari filsafat Samkhya, yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para murid yang memiliki temperamen mistis dan perenungan.[3]
Tulisan pertama tentang ajaran Yoga karya Maharsi Patanjali adalah kitab Yoga Sutra, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu. Ajaran yoga sebenarnya sudah terdapat di dalam kitab Smrti, demikian pula dalam Itihasa dan Purana. Setelah buku-buku Yoga Sutra muncullah kitab-kitab Bhasya yang merupakan komentar terhadap karya patanjali, diantaranya Bhasya Nitti oleh Bhojaraja dan lain-lain. Komentar-komentar ini menguraikan ajaran Yoga karya Patanjali yang berbentuk Sutra berupa kalimat pendek yang padat isinya.[4]
Sistem filsafat yang dipakai untuk mendasari Yoga ini terang diambil dari ajaran Samkhya, karena memang filsafat Yoga ini berhubungan erat sekali dengan Samkhya.[5] Di dalam buku Filsafat Hindu yang di susun oleh I Wayan Maswinara dikatakan bahwa Yoga bersifat lebih Orthodox dari pada filsafat Shamkhya, karena Yoga secara langsung mengakui keadaan Isvara, sehingga sistem filsafat Patanjali ini merupakan Sa-Isvara.
Samkhya, karena adanya Isvara atau Purusa istimewa (khusus) didalamnya, yang tak tersentuh oleh kemalangan, penderitaan, kerja keinginan dan sebagainya. Patanjali mendirikan sistem filsafat ini dengan latar belakang metafisika dan Samkhya menerima 25 prinsip atau Tattva dari Samkhya. Yoga menerima pandangan metafisika dari prinsip  Samkhya, tetapai lebih menekankan pada sisi praktisnya guna realisasi dari penyatuan mutlak Purusa atau sang Diri.[6]
Kata Yoga artinya ialah hubungan. Hubungan antara roh yang berpribadi dengan roh yang Universal yang tidak berpribadi. Tetapi patanjali mengartikan Yoga sebagai cittawrtti nirodha yaitu menghentikan geraknya fikiran.
Roh  pribadi dalam sistem Yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar dan dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Kalau sistem samkhya menetapkan bahwa pengetahuan merupakan cara untuk mencapai pembebasan, maka dalam sistem Yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi, dan Samadhi akan membawa kepada Kaivalya atau terkandung dalam kesan-kesan dari keanekaragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi mental pada Purusa yang mencerai dirinya.
Menurut Patanjali, Tuhan merupakan Purusa istimewa atau Roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan, karma, hasil yang diperoleh dan cara memperolehnya, pada-Nya merupakan batas tertinggi dari benih ke-Maha Tahuan. Yang tak terkondisikan oleh waktu, yang selamanya bebas dan merupakan Guru bagi para bijak jaman dulu.[7]
C.  Yoga Sutra
            Seluruh kitab Yoga  Sutra karya Patanjali terdiri atas 4 bagian yang terdiri diri 194 Sutra. Yaitu:
1.    Samadhipada
Samadhipada isinya memuat penjelasan tentang sifat dan tujuan melaksanakan Samadhi,[8] juga menerangkan tentang perubahan-perubahan pikiran dan pelaksanaan ajaran Yoga.[9]
2.    Sadhanapada
Sadhanapada isinya memuat tentang cara pelaksanaan yoga seperti cara mencapai Samadhi, tentang kedudukan, tentang karma phala dan sebagainya.[10]  
3.    Vibutipada
Virbutipada isinya memberikan uraian tentang daya-daya supra alami atau Siddhi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan Yoga.[11]
4.    Kaivalyadapa
Kaivalyapada isinya melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan rokh yang mengatasi alam duniawi.[12]atau menggambarkan sifat dari pembebasan.
Ajaran filsafat Yoga yang terpenting adalah citta (pikiran) citta dipandang sebagai hasil pertama dari prakrti yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Didalam citta ini Purusa dipantulkan dengan penerimaan pantulan Purusa Citta ini menjadi sadar dan berfungsi. Tiap citta berhubungan dengan satu tubuh sehingga dengan demikian Purusa dibebaskan dari belenggu badan dalam kehidupan sehari-hari citta disamakan dengan wrtti, yaitu bentuk-bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan objek pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak, bergirang atau menderita.[13]
Prubahan citta dapat diklasifikasikan kedalam lima macam, yaitu:
1.    Pramana, alat pengenalan yang meluputi pengamatan, penyimpulan, dan kesaksian yang benar.
2.    Wiparyaya, pengetahuan yang palsu, yang didasarkan atas gambaran yang keliru atas hal yang diamati, yang slalu tampak sebagai Awidya
3.    Wikalpa, pengetahuan yang berdasarkan sabda, bukan berdasarkan kenyataan. Sehingga juga mewujudkan pengetahuan yang tidak nyata.
4.    Nidra, tidur dan mimpi
5.    Smerti, ingatan atau kenangan yang keduanya bekerja tanpa bahan-bahan baru.[14]
pengamatan yang benar hanya melalui Tripramana aktifitas citta menimbulkan kecendrungan yang terpendam, yang selanjutnya menimbulkan kecendrungan yang lain. Demikianlah Samsara berputar, manusia ditaklukan oleh klesa yang terdiri dari:
1.      Awidya
yaitu pengetahuan yang salah seperti menganggap yang tidak kekal, yang bukan rokh sebagai rokh, yang tidak suci sebagai yang suci, dan sebagainya.
2.      Asmita, (keakuan)
Yaitu pandangan yang salah yang memandang Rokh itu sama dengan buddhi atau manah.
3.      Raga (keterikatan)
Raga atau nafsu keinginan dan alat-alat pemuasnya.
4.       Dwesa (dendam)
Dwesa ialah kebencian atau dendam.
5.       Abhiniwesa (takut terhadap kematian).
Yaitu rasa takut pada kematian semua makhluk[15]
       Untuk dapat terlepasnya Purusa dari ikatan Prakirti, seorang harus dapat melepaskan writti yaitu dengan melepaskan klesa, sebab klesa merupakan dasar tebentuknya karma yang menimbulkan awidya. Jadi dalam hidup manusia terdapat satu rangkaian yang tiada putusnya, yaitu perputaran writti dan klesa. Lepasnya ikatan dapat tercapai melalui pengendalian diri (wairagya), sehingga dapat membedakan yang pribadi dan yang bukan pribadi. [16]
D.     Raja Yoga dan Hatha Yoga
           Yoganya Maharsi Patanjali merupakan astaga Yoga atau Yoga dengan delapan anggota, yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik. Hatha Yoga membahas tentang cara-cara mengendalikan badan dan pengaturan pernafasan, yang memuncak pada Raja-Yoga, melalui sadhana yang progresif dalam Hatha Yoga sehingga hatha Yoga merupakan tangga untuk mendaki menuju tahapan Raja-yoga. Bila gerakan nafas dihentikan dengan cara Kumbhaka, pikiran menjadi tak tertopang dan pemurnian badan melalui say-karma (6 kegiatan pemurnian badan) yaitu Dhauti (pembersihan perut), Basti (bentuk alami pembersihan usus), Neti (pembersihan lubang hidung) Trataka (penatapan tanpa kedip terhadap sesuatu objek), Nauli (pengadukan isi perut) dan kapalabhati (pelepasan lendir melalui semacam pranayama tertentu), serta pengendalian pernafasan merupakantujuan langsung dari Hatha-yoga. Badan akan diberikan kesehatan, kemudahan, kekuatan dan kemantapan melaksanakan Asana, bandha dan Mudra.[17]
E.     Tujuan Yoga
          Tujuan utama Yoga ialah membebaskan manusia dari ketiga jenis penderitaan, yaitu:
1.      Yang timbul dari kelemahan, kesalahan tingkah laku dan penyakitnya.
2.      Yang timbul dari perhubungannya dengan makhluk-makhluk lain, seperti Harimau, pencuri dan sebagainya.
3.      Yang timbul dari perhubungannya dengan Alam diluar, seperti elemen-elemen dan daya-daya abstrak, halus dan sukar diketahui.
Hal tersebut bisa dicapai dengan cara berikut:
a.       Dengan jalan tanpa pelekatan serta tidak terikat pada dunia, tapi tidak berarti harus mengisolasikan dirinya.
b.      Dengan jalan mengendalikan fikiran serta kreasi-kreasinya, agar dengan demikian sekaligus membersihkan kesadaran yang nyata.
c.       Berusaha mencapai penggabungan roh individu dengan roh univeral secara positif dan mutlak. Kondisi ini dikenal sebagai samadhi dan merupakan tujuan sejati dari Yoga.
     Yogi (pengikut Yoga) berusaha mencapai keadaan bebas seluruhnya dari roda hidup dan mati. Ia memandang Alam sebagai suatu daya kekuatan yang bekerja dalam dua jurusan. Dari dalamnya ia berjuang untuk memisahkan, dari luar ia berjuang untuk menggabungkan kembali. Kekuatan dalam disebut Hidup, kekuatan luar disebut mati. Tujuan Yoga adalah menggabungkan kedua kekuatan tersebebut.[18]



III.             KESIMPULAN
 Tujuan dari pelaksanaan Yoga adalah untuk mengajarkan roh pribadi agar dapat mencapai penyatuan yang sempurna dengan roh tertinggi, yang dipengaruhi oleh writti atau gejolak pemikiran dari pikiran, sehingga keadaanya menjadi jernih seperti kristal, yang tak tertawani oleh hubungan pikiran dengan obyek-obyek duniawi.
























DAFTAR PUSTAKA

·         Adiputra, I Gede, Rudia, dkk. Tattwa Darsana. Jakarta : Yayasan Dharma Sharati, 1990.
·         Ali, Matius. Filsafat India. Tangerang : Sanggar Luxor, 2010.
·         Departemen Agama Direktorat  Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu. Dasar-Dasar Agama Hindu Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010.
·         Departemen Agama Direktorat  Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita, 2003.
·         Hadiwijono, Harun. Filsafat India. Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1971.
·         Swabodhi, Pandita, D.D. Harsa. Upamana – Pramana Buddha Dharma dan Hindu Dharma. Medan : Yayasan Perguruan Budaya, 1980.
                                      


[1] Direktorat  Jendral Bimbingan Masyarakat , Dasar-Dasar Agama Hindu, (Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010),hal.86
[2] Matius Ali, Filsafat India, (tangerang: sanggar luxor), 2010.
[3] I Wayan Maswinara (yayasan Sanata Dharmasrama), Sistem Filsafat Hindu, (Surabay,Paramita),1999.hal.163
[4] I Gede Rudia adipura, I wayan Suarjaya, I Gede Sura, Ttwa Darsana, ( Jakarta :    ,1990), hal.57
[5] Direktorat  Jendral Bimbingan Masyarakat , Dasar-Dasar Agama Hindu, (Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010),hal.8
[6] I Wayan Maswinara (yayasan Sanata Dharmasrama), Sistem Filsafat Hindu, (Surabay,Paramita),1999.hal.163 - 164
[7] I Wayan Maswinara, Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), (Surabaya : paramita, 2006).hal.164
[8] I Wayan Maswinara (yayasan Sanata Dharmasrama), Sistem Filsafat Hindu(Surabay,Paramita),1999. Hal.164
[9] I Gede Rudia adipura, I wayan Suarjaya, I Gede Sura, Tattwa Darsana, ( Jakarta :    ),1990, hal.57
[10]Departemen Agama  Direktorat  Jendral Bimbingan Masyarakat , Dasar-Dasar Agama Hindu, (Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010),hal.85
[11] I Wayan Maswinara (yayasan Sanata Dharmasrama), Sistem Filsafat Hindu(Surabay,Paramita,1999). Hal.164
[12]Departemen Agama  Direktorat  Jendral Bimbingan Masyarakat , Dasar-Dasar Agama Hindu, (Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010),hal.85
[13] I Gede Rudia Adiputra, dkk, tattwa Darsana, (Jakarta, Yayasan Dharma Sharati,1990), hal.59
[14] Harun Hadiwjono, Sari Filsafat India, (Jakarta : Badan Penerbit Kristen,1971), hal. 51
[15] I Gede Rudia Adiputra, dkk, tattwa Darsana, (Jakarta : Yayasan Dharma Sharati, 1990), hal.60
[16]Departemen Agama  Direktorat  Jendral Bimbingan Masyarakat , Dasar-Dasar Agama Hindu, (Jakarta : Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010),hal.86
[17] Departemen Agama  Direktorat  Jendral Bimbingan Masyarakat Hindhu dan Budha, Intisari Ajaran Hindu, (Surabaya : Paramita, 2003), hal.205-206.
[18] Pandhita D.D. Harsa Swabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma dan HinduDharma, ( Medan : Yayasan Perguruan Budaya, 1980), hal. 22
                                      

0 komentar:

Posting Komentar